Suku Bunga Acuan Jadi 4,25 Persen, Pengusaha Mengaku Dilema 

- 28 September 2022, 22:30 WIB
Ilustrasi/suku bunga naik jadi 4,25 Persen
Ilustrasi/suku bunga naik jadi 4,25 Persen /Subur Atmamihardja/ MR Firmansyah /ANTARA FOTO

 

JURNAL SINJAI – Kenaikan suku bunga acuan menjadi 4,25 persen telah menimbulkan dilematis bagi sektor perusahaan. Disatu sisi pemerintah diharuskan menekan lajunya inflasi, namun disisi yang lain nasib pengusaha harus menanggung beban atas dampak tersebut.

Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulawesi Selatan, Yusran IB Hernald mengatakan bahwa tingginya inflasi ini tidak terlepas dengan kenaikan harga BBM dalam situasi ekonomi yang belum pulih.

"Dalam kondisi ekonomi yg seperti sekarang ini mau tidak mau BI harus menjaga juga operasional perbankan agar bisa berjalan dengan baik. Memang sangat dilematis tapi tentu semua sektor harus bergerak agar perekonomian bisa berjalan," ujar Yusran, Rabu (28/9/2022).

 Baca Juga: Barang Penunjang Kebutuhan Naik, Pengusaha Merasa Dikeroyok Pemerintah Melalui Kebijakan

Dampak kenaikan suku bunga acuan ini, kata dia, dimungkinkan akan berimbas terhadap semua sektor usaha, apalagi yang bersentuhan dengan sektor properti.

"Berbicara dampak tentu sangat terasa berat bagi dunia usaha karena hampir seluruh pengusaha modal kerjanya dibantu perbankan, belum lagi dengan sektor Property yang menggunakan fasiltas KPR tentunya akan berpengaruh pada harga jual," jelasnya.

Nasib atas kebijakan ini, menurut Yusran, salah satu langkah perusahaan adalah dengan mengurangi komponen terhadap biaya produksi atau barang sewajarnya agar tidak kehilangan konsumen.

"Untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga tentu pengusaha punya strategi salah satunya adalah mengurangi komponen biaya sehingga harga produksi masih bisa terjangkau oleh masyarakat," ucap dia.

Terpisah, pengamat ekonomi Unhas, Prof Hamid Paddu menjelaskan bahwa beberapa bulan terakhir inflasi terjadi di beberapa negara, salah satunya Indonesia bahkan sudah melebihi dari target 4 persen. Hal inilah yang membuat kebijakan suku bung acuan harus dinaikkan.

Baca Juga: Pengusaha Inggris Ini Dikabarkan akan Beli Klub Raksasa Manchester United

"Tetapi gambaran ini inflasi akan terus naik, maka ketika dunia juga menaikkan suku bunga, maka dengan inflasi yang tinggi bank sentral harus menahan inflasi ini karena kalau tidak menahan maka itu akan menghantam ekonomi lebih banyak lagi. Inflasi yang tinggi menyebabkan masyarakat tidak mampu belanja," papar dia.

Ketika suku bunga dinaikan, ia mengatakan yang terjadi adalah masyarakat dan pengusaha akan lebih banyak dan lebih cenderung menyimpan uangnya di bank, sehingga upaya untuk mengendalikan inflasi dapat dilakukan.

"Kalau uang masuk di bank berarti uang yang ada di masyarakat yang beredar akan berkurang, kalau uang beredar berkurang maka animo masyarakat untuk berbelanja itu tren mulai berkurang. Kalau suku bunga dinaikan maka itu akan merem orang untuk berkonsumsi, kalau rem berkonsumsi itu akan menurunkan inflasi," katanya.

Ia menyatakan bahwa kebijakan ini tentunya ada dampak kesulitan secara langsung terhadap perusahaan-perusahaan yang membutuhkan kredit untuk berkembang, tapi disisi lain masih bisa diperhitungkan karena investasi setelah pandemi Covid-19 ini masih berkurang.

Baca Juga: Profil Valencia Tanoesoedibjo, Pengusaha Muda Dikabarkan Dekat dengan Pebulu Tangkis Kevin Sanjaya

"Tetapi dalam situasi saat ini selama itu uang di bank itu berlebihan, likuiditas itu besar sekali dua tahun terkahir, karena animo pengusaha untuk melakukan investasi itu masih kecil sekali belum bergerak banyak, disebabkan karena Covid-19 dua tahun," tandasnya.

"Jadi memang dengan naiknya suku bunga ini tentu akan usaha investasi sudah mulai dorong, bisa merem lagi sektor usaha tetapi jangka pendek dulu, memang nanti dicari langka keluarnya untuk bagaimana selisih bunga simpanan dengan bunga kredit itu tidak terlalu jauh," sambung Prof Hamid.

Menurut dia, kebijakan kenaikan suku bunga ini memang harus dilakukan agar tidak menjadi ancaman yang semakin besar bagi sektor perusahaan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawan, jika produksi atau barang sudah kurang dibelanjakan, maka akan terjadi penyesuaian sesuai biaya operasional perusahaan.

"Jadi usahanya baru bisa jalan dia bisa produksi barangnya baru bisa dibeli kalau masyarakat itu mampu membeli, kalau masyarakat tidak mampu membeli oleh karena harga tinggi atau inflasi, tidak ada gunanya yang terjadi adalah harga terlalu tinggi uangnya masyarakat tidak cukup menyebabkan kelebihan suplai kelebihan produksi, tidak laku Barang-barang itu maka terjadi pengangguran, PHK, itu masuk dalam resesi ekonomi," ungkapnya.

"Makanya ini memang dampaknya terhadap perusahaan tapi tidak terlalu mengganggu karena tidak terlalu berat Investa sehingga didahulukan dulu penyelesaian Investa agar supaya dengan itu usaha bisa laku jalannya supya tidak terjadi pengangguran," tambah dia. 

Baca Juga: Antisipasi Pemotongan BLT BBM, Gubernur Rencana Temui Langsung Penerima Bantuan

Diketahui, Bank Indonesia (BI) telah kembali menaikkan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI September 2022. Sehingga, suku bunga acuan dikerek sebesar 50 basis poin (BPS) menjadi 4,25 persen.

Meroketnya laju inflasi dan ekspektasi pergerakannya di dalam negeri membuat Bank Indonesia (BI) harus menaikkan suku bunga acuan lebih tinggi ke depan. ***

Editor: Fadli


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x